Tersebutlah ada dua orang manusia. Seorang pertama sangat lapar, sudah lama tak makan. Orang yang kedua makan lima kali sehari. Kedua orang ini melihat sepotong roti. Bagi yang kenyang hanya melihat ada makanan . Namun lain bagi si lapar, di balik makanan ada kehidupan itu sendiri. Bagi si lapar, roti adalah piala dan kehidupan yang terkandung di dalamnya adalah anggur kenikmatan. Anggur ini tak dapat diecap dan dinikmati perisanya kalau tidak sedang lapar. Melalui lapar dan rasa rindulah anggur dalam piala itu menyembur nikmat bagi seseorang.
Rumi berkata, “bentuk dan lengkung garis yang dipersembahkan dunia ini adalah piala-piala itu. Ilmu, seni dan pengetahuan lainnya adalah tulisan yang ditempelkan bagi keindahan piala. Tapi dia tak kekal. Ketika piala pecah atau terbakar, semua tulisan itu menghilang. Oleh karena itu, bagi mereka yang minum anggur, melihat ‘realitas abadi dan perbuatan suci…” Alias zat, kenikmatan dan perisa anggur yang terkandung dalam piala itu bernilai abadi”.
Saya teringat kisah Majnun dan Laila. Ketika Majnun mencintai seseorang, tentu saja seorang yang cantik dan dicintai. Sebab, seseorang yang dicintai adalah seorang yang cantik, tetapi tidak semua yang dicintai adalah seorang cantik. Inilah kisah Majnun. Suatu kali sang raja memanggil Majnun. Beberapa saat kemudian raja berkata: “Seberapa cantikkah Laila itu, aku bisa mengganti dengan seratus gadis yang sebentar lagi akan berdiri di depan mu hai Majnun”. Beberapa saat kemudiaan, keluar perintah sang raja “Wahai Majnun, angkat wajah mu dan lihatlah ke hadapan”. Majnun menjawab singkat: Ketika ku angkat wajah ini, sekelebat pedang cinta itu akan menebas leher ku wahai Tuan hamba’. Cinta ku pada Laila ibarat sambaran pedang. Aku takut mengangkat wajah. Cintaku pada Laila adalah sebuah pedang yang siap terayun. Jika aku mengangkat kepala, pedang itu akan menebasnya. Aku takut…Biarlah daku membeku dalam kesyahduan anggur dalam piala Laila”. Aku mencintai Laila bukan karena bentuknya.
Kenikmatan subyek-obyek bersatu dalam syahdu kasih yang membuih. Dengan buihlah orang baru tahu bahwa di lautan ada air. Sebelum ada gelombang yang dipuncaki buih, kita tak pernah sadar, bahwa laut berisi air. Sebab air di laut ialah sebuah alam, sebuah habitat, sebuah rumah bersama bagi sekian makhluk. Buih penanda ada anggur yang tersimpan di laut. Dia diekstensi menjadi lautan cinta, lautan asmara, lautan syahdu, lautan rezeki, lautan cahaya, selaut benci, selaut rindu, selaut pukau dan selaut lainnya. Begitu pula Majnun kepada Laila. Laila ialah lautan sekaligus buih, juga adalah gelombang dan alun.
Adakah kita mencinta seperti Majnun mencintai Laila?
2 comments:
tak ada manusia yang sempurna
tak ada cinta yang kan abadi
maka cintailah pasanganmu dengan apa adanya dan setulus hatimu
penuh keiklhasan
maka itulah cinta yang sejati
cinta yang sesungguhnya
lam kenal juga ya...
aku kangen neh ma Yogya karena Yogya pernah jadi pelabuhan hidupku meskipun akhirnya kutinggalkan samudra cintaku disana yang terkoyak oleh badai kegagalan asaku.
see you...
hee..hee
yogya never ending asia
Post a Comment